Senin, 22 April 2013

Meneladani Kisah Hijrahnya Nabi Ibrahim As




            Hijrah.Istilah tersebut mungkin tidak asing di telinga sebagian orang.Hijrah sering diidentikan dengan berpindahnya Nabi Muhammad saw dari makkah ke madinah untuk berdakwah.Padahal istilah tertsebut memiliki makna yang lain selain berpindah,seperti menyingkir dan mengungsi.Dalam Kamus Bahasa Indonesia,hijrah berarti berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dr suatu tempat ke tempat lain yg lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan,dan sebagainya).
           
Sebelum Nabi Muhammad saw,Nabi Ibrahim as telah diperintahkan terlabih dahulu untuk berhijrah.Selain karena Allah Swt ingin menguji keimanan beliau juga karena untuk menghindari kemusyrikan yang merajalela di negeri tempatnya tinggal tersebut,mengharuskan nabi Ibrahim untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah wilayah tandus tak berpenghuni yang bernama Makkah,kemudian meninggalkan mereka.
           
Dalam doa nabi Ibrahim yang tercantum dalam Qs.Ibrahim;37 berbunyi:
           

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Tampaklah jelas pengorbanan nabi Ibrahim untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

            Setelah ditemukannya air mata zam-zam di tanah tandus tersebut,mulailah orang-orang berdatangan untuk menetap di sana.Nabi Ibrahim kemudian kembali ke mekkah untuk menemui istri dan anaknya,Ismail,serta melaksanakkan perintah Allah yang selanjutnya, yaitu membangun ka’bah,setelah ka’bah berdiri,berkembanglah kehidupan sosial di negeri itu,ditandai dengan banyaknya orang yang berhaji ke Baitullah.

            Pelaksanaan hijrah nabi Ibrahim tersebut memberikan pelajaran bagi kita selaku umat muslim untuk selalu berusaha memperbaiki kehidupan.Bahkan sebuah keluarga yang bertransmigrasi kemudian mereka dapat mengembangkan segala potensi untuk merubah kehidupannya, baik dari aspek ekonomi,religi,hubungan antarkeluarga,hubungan sosialnya lebih baik dari sebelumnya,maka mereka dapat dikatakkan “Berhasil” dalam hijrahnya.Begitu pula seseorang yang menuntut ilmu jauh dari kampung halamannya dengan sungguh-sungguh,kemudian ketika ia kembali ke tempat tinggalnya semula dan memberikan kontribusi yang menjadikan kampung halamannya berkembang,ia juga “Berhasil” dalam berhijrah.

            Perlu kita ketahui bahwa alasan berhijrah bukan hanya sekedar perubahan ekonomi dengan melimpahnya materi,namun untuk membangun kehidupan yang diridhai Allah Swt.Wallahu A'lam bisshawab

Aliran Pemaikiran Kalam Mu'tazilah


BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Akan tetapi banyak orang yang mendewakan keberadaan akal tersebut diatas segalanya,sehingga banyak kaum muslimin yang terpecah dan berpaling dari agama yang telah diajarkan Rasulullah. Akibatnya timbulah persoalan-persoalan  yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin yang melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka.Permasalahan ini bermula ketika peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah yang memunculkan masalah  tentang konsep “kafir”bermunculan pulalah aliran–aliran pemikiran kalam ,mulai dari khawarij yang berpendapat bahwa orang berdosa besar adalah kafir. Kemudian muncul aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Adapun aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir.
Diantara banyaknya aliran kalam yang bermunculan,Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang paling memberikan daya besar terhadap akal dan bercorak rasional juga dianggap menyimpang yang sampai saat ini penyimpangannya dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Oleh karena itu kita perlu mengetahui tentang Aliran Mu’tazilah
        dengan tujuan agar tidak ikut terjerumus ke dalamnya.




BAB II
PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH
A.   Sejarah Muncul dan Perkembangan Aliran Mu’tazilah
1.   Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah
Secara bahasa, istilah Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya memisahkan diri.Sedangakan asal-usul penamaan Mu’tazilah banyak teori yang melatarbelakanginya
Salah satu teori menyebutkan bahwa istilah Mu’tazilah terjadi saat halaqah yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri yang tengah membicarakan konsep kafir.dalam halaqah tersebut hadir Amr bin ubaid dan washil bin.saat itu pembicaraan tentang orang mukmin yang melakukan dosa besar sedang hangat diperbincangkan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa kelompok Khawarij telah memandang mereka kafir,sedangkan kelompok murji’ah memandang mereka masih mukmin.Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir-fikir,spontan wasil mengeluarkan pendapat bahwa orang orang mukmin yang melakukan dosa besar mereka bukan lagi mukmin tapi bukan juga kafir,melainkan berada diantara  keduanya.Selesai berkata demikian,wasil berdiri dan meninggalkan majelis.Karena peristiwa tersebut Hasan Al-Basri mengatakan “I’tazala ‘Anna”(Wasil telah menjauhklan diri dari kita).Ungkapan “I’tazala” tersebut menjadi awal sebutan Mu’tazilah bagi wasil dan rekan-rekannya.
         Al-Baghdadi mengemukakan pendapat bahwa sebutan Mu’tazilah juga berasal dari ucapan Hasan Al-Basri tentang menjauhkan diri atau memisahkan diri.Al-Bagdadi menambahkan penyebabnya adalah disamping karena persoalan status orang mukmin yang melakukan dosa besar,juga karena pertikaian pendapat tentang persoalan qadar atau taqdir.
         Tasy Kubra Zadar menyebutkan bahwa ucapan Mu’tazilah berasal dari perkataan Qatadah ibnu Dam’amah ketika Ia masuk ke Majlis Amr bin Ubaid.Mulanya Ia mengira bahwa itu adalah majlis Hasan Al-Basri karena berhajat hendak kesana,ketika menyadari itu adalah majlis Amr bin Ubaid,lantas Ia berbalik seraya mengatakan “Ini kelompok Mu’tazilah”.Sejak saat itu majlis Amr bin Ubaid populer disebut kaum Mu’tazilah.
         Ahmad Amin menyebutkan bahwa sebutan Mu’tazilah sudah ada  jauh sebelum peristiwa wasil dengan Hasan Al-Basri.Sebutan Mu’tazilah telah digunakan untuk orang-orang yang tidak mau ikiut campur dalam pertikaian politik yang terjadi di masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.Mereka menjauhkan diri dari golongan yang saling bertikai.Kata I’tazala atau Mu’tazilah yang muncul sebelumya itu cenderung pada unsur politik,sedangkan kata Mu’tazilah yang muncul  sesudah peristiwa wasil,menurut Harun Nasution,lebih mengarah pada teologi dan berfikir filsafat.
     Teori lain menyebutkan bahwa  sebuatn Mu’tazilah muncul berkaitan dengan kelompok orang yang berpendapat tentang orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainakan berposisi diantara keduanya(Almanzilat bain almanzilatain).
Pendapat lain mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang kecewa atas menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.

2.   Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Mu'tazilah merupakan aliran yang berkembang  pada awal abad kedua hijriyah di bawah pimpinan Washil bin Atho' Al Ghozaal.
Kelompok ini banyak terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu.Kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah.
Pada awal perkembangannya,Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Ditambah lagi mereka  menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazIlah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah.
Baru pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218 H/813-833 M), golongan ini memperoleh dukungan luas terutama di kalangan intelektual. Selanjutnya, kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah dijadikan madzhab resmi negara oleh al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil ia dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa, Mu’tazilah mengalami masa kejayaan. Namun, disaat puncak kejayaan itu kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang terkenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (inquistion). Peritiwa itu timbul dikarenakan faham Khalq al-Quran, dimana kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti al-Quran sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.Untuk memaksa manusia mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Peristiwa yang menggoncangkan umat Islam itu akhirnya berakhir setelah al-Mutawakkil menjadi khalifah (periode 232-247 H/847-861 M) menggantikan al-Wasiq (periode 228-232 H/842-847 M). Dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan masyarakat semakin tidak bersimpatik sehingga al-Mutawakkil membatalkan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dan menggantikannya dengan aliran Asy’ariyah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul lagi pada masa Dinasti Buwaihi, namun kembali lagi pada Asy’ariah ketika Bani Saljuk mengambil alih kekuasaan, terutama sejak pemerintahan Alp Arselan dengan Nizam al-Mulk sebagai perdana menterinya. Hingga berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
B.   Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
Al- jahiz
Dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu’ammar bin Abbad
 Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
 Bisyr al-Mu’tamir
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

C.   Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah
Salah satu aspek penting dari pembahasan mengenai aliran Mu’tazilah ialah menyangkut Al-Ushul Al-Khamsah(lima ajaran dasar).Para pemuka Mu’tazilah mengurutkannya berdasarkan pentingnya kedudukan tiap dasar.
     At-Tauhid
     Mu’tazilah meletakan Tauhid sebagai dasar pertama karena merupakan unsur terpenting.Tauhid berarti mengesakan Tuhan.Pengesaan Tuhan harus mendapat perhatian yang melebihi segalannya,Tuhan hasur difahami sebagai sesuatu yang unik melebihi segalanya yang ada di alam ini.Mereka menolak paham yang mengatakan bahwa Tuhan punya sifat.
Al-Adl
    Al-Adl berarti keadilan Tuhan,bagi Mu’tazilah tuhan senantiasa berlaku adil.Dikatakan adil apabila Tuhan senantiasa berbuat yang terbaik bagi manusia,bahkan Tuhan wajib mendatangkan yang terbaik bagi manusia.Tuhan memberikan kebebasan pada manusia dalam memilh berkehendak dan berbuat.Karena adanya kebebasan tersebut,manusia boleh memilih antara yang baik atau buruk,namun diakhirat manusia tersebut akan mendaapatkan balasan sesuai pilihannya ketika didunia.Sebagian dari hal ini,Mu’tazilah mengambil paham Qadariyah
     Al-Wa’d wal Waid
         Al-Wa’d wal Waid berarti janji dan ancaman,artinya pahala akan didapatkan oleh orang yang melakukan kebajikan dansiksa akan didapat oleh pelaku kejahatan. Al-Wa’d wal Waid mengandung pengertian bahwa Tuhan mesti manepati janji memberiakn pahala pada orang yang berbuat baik,dan memberi siksa pada orang yang jahat.Hal in berkaitan dengan ajaran kedua yaitu Al-Adl.Tuhan baru dikatakan Adil jika memasukan orang baik ke surga,dan orang jahat keneraka,dan Tuhan tidak adil jika memberikan pahala pada orang yang berbuat dosa dan memberi siksa pada orang yang berbuat baik.
     Al-manzilah bain Manzilatain
Al-manzilah bain Manzilatain berarti posisi diantara dua posisi.Hal ini di maksudkan bagi orang mukmin yang berbuat dosa.Orang mukmin yang seperti ini menempati posisi pertengahan,yaitu diantara mukmin dan kafir.Pelaku dosa bukanlah lagi mukmin karena imannya sudah tidak sempurna,tapi bukan pula kafir karena masih percaya Tuhan.Karena ia bukan mukmin maka tidak dapat masuk surga dam karena ia bukan kafir maka sebenarnya ia tidak mesti pula masuk neraka.Karena diakhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka ,maka pelaku dosa besar tersebut tidak dapat tidak tetap masuk ke dalam neraka dengan kata lain merek diberikan siksaan yang lebih ringan dari pada orang kafir.              
     Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar
         Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar berarti perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat.Ajaran ini berlaku untuik semua umat Islam,bukan hanya Mu’tazilah.Bedanya Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar bagi Mu’tazilaah cukup hanya dengan seruan,diikuti atau tidak bukanlah tanggung jawab si penyeru,namun jika diperlukan dalam pelaksanaannya boleh denagn kekerasan bahkan mesti.Yang Ma’ruf bagi Mu’tazilah ialah hal-hal yang mereka anggap baik dan benar menurut pendapat mereka,sedangkan apa-apa yang menyalahinya dipandang munkar dan harus diberantas.
D.  Konsep Pemikiran Kalam Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah dalam memecahkan berbagai masalah cenderung memberikan daya kuat terhadap akalnya.Beberapa aliran kalam memiliki pandangan tersendiri dalan permasalahan tersebut,akan tetapi disini hanya aka dibahas sebatas pandangan aliran Mu’tazilah saja.Berikut persoalan-persoalan kalam dan pemecahannya menurut aliran Mu’tazilah:
     Iman dan Kufur
         Permasalahan tentang kufur telah dibahas pada bagian sebelumnya,Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah mukmin tapi tidak pula kafir,melainkan berposisi diantara keduanya atau yang mereka sebut “Fasiq”.
         Bersamaan dengan perdebatan tentang konsep kafir,persoalan iman juga diperdebatkan.Mu’tazilah berpendapat bahwa iman bukan hanya sekedar Tashdiq (pembenaran terhadap apa yang didengar) melainkan meliputi Ma’rifah (mengetahui benar apa yang diyakini) dan amal (perbuatan yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan)
     Akal dan Wahyu
         Persoalan dalam hal ini terletak pada kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu untuk mengetahui Tuhan,Masalah utamanya ialah Mengetahui Tuhan,Kewajiban Mengetahui Tuhan,Mengetahui baik dan jahat,dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat.
         Bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui masalah diatas,namun pengetahuan akal tidaklah bersifat lengkap dan utuh.Abd Al-Jabar,salah seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa tidaklah semua yang baik dapat diketahui dengan akal.Demikian juga dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban,sebetulnya Mu’tazilah tidak tahu cara tepatnya.Dengan demikian wahyu dapat menyempurnakan pengetahuan akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.
     Kebebasan Manusia
         Permasalahan dalam hal ini terletak pada posisi manusia dihadapan Tuhan,Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatannya.Adapun daya atau energi yang merupakan modal atau potensi untuk mewujudkan kehendak atau melakukan perbuatan,telah diberikan Tuhan sejak awal.Ayat Al-Qur’an yang dijadikan pijakan oleh Aliran Mu’tazilah ialah Qs.Al-Kahfi 29:
     “...............Maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin kufur biarlah ia kufur.......................”
Ayat ini memberi kebebasan manusia untuk percaya atau tidak percaya.Sekiranya perbuatan manusia bukan sebenarnya perbuatan manusia  maka ayat ini tidak ada artinya.
Demikian juga ayat-ayat lain seperti Qs,As-Sajdah 7,17,Qs.An-Nisa 79,Qs.Al-Baqarah 108,Qs.At-Taubah 72,Qs.Qs.Al-Ahqaf 14,Qs.Ath-Thagabun 2.
     Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
         Fokus persoalan dibidang ini ialah apakah kekuasaan dan kehendak Tuhan mutlak atau terbatas. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak semutlak-mutlaknya tetapi terbatas karena Tuhan telah memberikan kebebasan pada manusia dalam menentukan perbuatannya.Maka Tuhan Tidak bisa berbuat sekehendaknya,jika Tuhan melanggarnya berarti Tuhan tidak adil bahkan zalim.Sebab lainnya ialah kekuasaan dan kehendak Tuhan dibatasi oleh “Hukum Alam”.Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sudah dibatasi lewat hukum-hukum yang tersebar dialam itu.Setiap benda memiliki hukum alam tersendiri yang menimbulkan efek tertentu  menurut naturnya masing-masing.
Keadilan Tuhan
    Aliran Mu’tazilah melihat keadilan Tuhan dari sudut pandang kebebasan manusia,keadilan Tuhan terletak pada pemenuhan hak-hak manusia sesuai dangan kebebasan yang telah diberikan oleh Tuhan.Pemenuhan  hak itu bisa meliputi janji (memberikan pahala pada manusia yang telah berbuat baik),memberikan yang terbaik untuk manusia,memberikan beban sebatas kemampuan manusia.
    Ayat yang menjadi sandaran aliran Mu’tazilah ialah Qs.Al-Anbiya 47,Qs.Yasin 54,Qs.Fushilat 46,QsAn-Nisa 40,Qs.Al-kahfi 49
Perbuatan Tuhan
    Persoalan disini terletak pada apakah perbuatan tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja atau mencakup juga pada hal-hal yang buruk.
Bagi aliran Mu’tazilah,perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja,ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk,Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia tahu keburukan dari perbuatan tersebut.Karena terbatasnya perbutaan Tuhan pada hal-hal yang baik saja,Mu’tazilah berpendapat bahwa wajib bagi Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia
Sifat-Sifat Tuhan
    Fokus permasalahan ini berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan,ayat-ayat anthropomorphisme(ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan sama seperti makhluk) dan persoalan tentang melihat Tuhan.
    Bagi aliran Mu’tazilah,Tuhan tidaklah memiliki sifat.Tuhan tetap mengetahui,melihat,mendengar daan sebagainya.Semua itu bukan lewat sifat melainkan  dengan zat esensi Tuhan itu sendiri.
    Mengenai masalah Anthropomorpisme,karena  menurut mereka Tuhan tidak memiliki sifat apalagi sifat jasmani,maka ayat yang menggambarkan Tuhan memiliki sifat jasmani haruslah diberikan interpretasi lain.misalnya Qs.Az-zumar ayat 67:
“.........Dan langit digulung dengan tangan kananNya.........”
kata yamin diartikan kekuatan
    Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala.Alasannya adalah Tuhan tidak mengambil ruang,maka tidak bisa dilihat,selain itu jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala tentu Tuhan dapat dilihat didunia ini.Mereka menyandarkan pendapatnya pada Qs.aAl-an’am 103 :
“Penglihatan tidak bisa mencapaiNya tapi Dia capai segala penglihatan..”
 Dan Qs.Al-qiyamah 22-23
“Wajah-wajah hari itu bercahaya.”
“Kepada Tuhanlah mereka melihat”
Kata Nadzirah yang lazim diartikan ’’melihat’’ difahami dengan ”menunggu”.Pada hari itu wajah-wajah menjadi berseri-seri karena menunggu pahala yang akan diberikan Tuhan.





KESIMPULAN
1.         Secara bahasa, istilah Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya memisahkan diri.Sedangakan asal-usul penamaan Mu’tazilah banyak teori yang melatar belakanginya.
Salah satu teori menyebutkan bahwa istilah Mu’tazilah terjadi saat halaqah yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri yang tengah membicarakan konsep kafir. wasil mengeluarkan pendapat bahwa orang orang mukmin yang melakukan dosa besar mereka bukan lagi mukmin tapi bukan juga kafir,melainkan berada diantara  keduanya.Selesai berkata demikian,wasil berdiri dan meninggalkan majelis.Karena peristiwa tersebut menjadi awal sebutan Mu’tazilah bagi wasil dan rekan-rekannya.
         Aliran Mu’tazilah muncul ketika akhir masa pemerintahan dinasti Umayah,akan tetapi mendapat tekanan sehingga sulit berkambang,Mu’tazilah mencapai kejayaannya pada masa dinasti Abasiyah,kemudian perkembanganya terhambat lagi pada masa khalifah Al-Mutawakil,mencuat kembali pada masa dinasti Buwaih,tak lama kemudian tenggelam pada masa dinasti saljuk dan tergeser dari panggung sejarah dan tergantikan oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah
2.   Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Wasil bin Atha.
Abu Huzail al-Allaf.
Al-Jubba’i
An-Nazzam
Al- jahiz
Mu’ammar bin Abbad
Bisyr al-Mu’tamir
Abu Musa al-Mudrar
Hisyam bin Amr al-Fuwati
3.   Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah
     At-Tauhid
Al-Adl        
     Al-Wa’d wal Waid
Al-manzilah bain Manzilatain
     Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar
4.   Konsep Pemikiran Kalam Mu’tazilah
     Iman dan Kufur
        
     Akal dan Wahyu
        
     Free Will dan Predestination
        
     Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
        
Keadilan Tuhan
   
Perbuatan Tuhan
   
Sifat-Sifat Tuhan
   












DAFTAR PUSTAKA

Alkhendra.2000.”Pemikiran Kalam”.Bandung : Alfabeta
Rozak,Abdul Anwar,Rosihon.2011.”Ilmu Kalam”.Bandung : Pustaka
Setia
cahayamukmin.blogspot.com Apr 10, 2009
hanafihauvanjau.blogspot.com May 30, 2012
masalahhukumsyariatdannegara.blogspot.com Jan 7, 2010
politik.kompasiana.com Jul 10, 2012 – Oleh: Lismanto.
www.fiqhsunnah.com › AQIDAH  Mar 7, 2011