BAB I
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama Rahmatan lil Alamin telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
Akan tetapi banyak orang yang mendewakan keberadaan akal tersebut diatas
segalanya,sehingga banyak kaum muslimin yang terpecah dan berpaling dari agama
yang telah diajarkan Rasulullah. Akibatnya timbulah persoalan-persoalan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
yang melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka.Permasalahan ini bermula ketika
peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah yang memunculkan masalah tentang konsep “kafir”bermunculan pulalah
aliran–aliran pemikiran kalam ,mulai dari khawarij yang berpendapat bahwa orang
berdosa besar adalah kafir. Kemudian muncul aliran Murji’ah yang menegaskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Soal
dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya. Adapun aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar
bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka
mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir.
Diantara
banyaknya aliran kalam yang bermunculan,Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang
paling memberikan daya besar terhadap akal dan bercorak rasional juga dianggap
menyimpang yang sampai saat ini penyimpangannya dan masih dikembangkan oleh
para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin
dan persatuannya.
Oleh
karena itu kita perlu mengetahui tentang Aliran Mu’tazilah
dengan
tujuan agar tidak ikut terjerumus ke dalamnya.
BAB
II
PEMIKIRAN
KALAM MU’TAZILAH
A.
Sejarah Muncul dan Perkembangan Aliran
Mu’tazilah
1.
Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah
Secara bahasa, istilah Mu’tazilah
berasal dari kata I’tazala yang artinya memisahkan diri.Sedangakan asal-usul
penamaan Mu’tazilah banyak teori yang melatarbelakanginya
Salah satu teori menyebutkan bahwa
istilah Mu’tazilah terjadi saat halaqah yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri yang
tengah membicarakan konsep kafir.dalam halaqah tersebut hadir Amr bin ubaid dan
washil bin.saat itu pembicaraan tentang orang mukmin yang melakukan dosa besar
sedang hangat diperbincangkan.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa kelompok Khawarij telah memandang
mereka kafir,sedangkan kelompok murji’ah memandang mereka masih mukmin.Ketika
Hasan Al-Basri masih berfikir-fikir,spontan wasil mengeluarkan pendapat bahwa
orang orang mukmin yang melakukan dosa besar mereka bukan lagi mukmin tapi
bukan juga kafir,melainkan berada diantara
keduanya.Selesai berkata demikian,wasil berdiri dan meninggalkan
majelis.Karena peristiwa tersebut Hasan Al-Basri mengatakan “I’tazala ‘Anna”(Wasil telah menjauhklan
diri dari kita).Ungkapan “I’tazala”
tersebut menjadi awal sebutan Mu’tazilah bagi wasil dan rekan-rekannya.
Al-Baghdadi
mengemukakan pendapat bahwa sebutan Mu’tazilah juga berasal dari ucapan Hasan
Al-Basri tentang menjauhkan diri atau memisahkan diri.Al-Bagdadi menambahkan
penyebabnya adalah disamping karena persoalan status orang mukmin yang
melakukan dosa besar,juga karena pertikaian pendapat tentang persoalan qadar
atau taqdir.
Tasy
Kubra Zadar menyebutkan bahwa ucapan Mu’tazilah berasal dari perkataan Qatadah
ibnu Dam’amah ketika Ia masuk ke Majlis Amr bin Ubaid.Mulanya Ia mengira bahwa
itu adalah majlis Hasan Al-Basri karena berhajat hendak kesana,ketika menyadari
itu adalah majlis Amr bin Ubaid,lantas Ia berbalik seraya mengatakan “Ini
kelompok Mu’tazilah”.Sejak saat itu majlis Amr bin Ubaid populer disebut kaum
Mu’tazilah.
Ahmad
Amin menyebutkan bahwa sebutan Mu’tazilah sudah ada jauh sebelum peristiwa wasil dengan Hasan
Al-Basri.Sebutan Mu’tazilah telah digunakan untuk orang-orang yang tidak mau
ikiut campur dalam pertikaian politik yang terjadi di masa Usman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib.Mereka menjauhkan diri dari golongan yang saling
bertikai.Kata I’tazala atau Mu’tazilah yang muncul sebelumya itu
cenderung pada unsur politik,sedangkan kata Mu’tazilah yang muncul sesudah peristiwa wasil,menurut Harun
Nasution,lebih mengarah pada teologi dan berfikir filsafat.
Teori lain menyebutkan bahwa sebuatn Mu’tazilah muncul berkaitan dengan
kelompok orang yang berpendapat tentang orang yang berdosa besar bukan mukmin
dan bukan kafir melainakan berposisi diantara keduanya(Almanzilat bain almanzilatain).
Pendapat lain mengatakan bahwa mereka
dinamai Mu’tazilah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang
Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang kecewa atas
menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah
dari bani Umayyah.
2.
Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Mu'tazilah merupakan aliran yang berkembang pada awal abad kedua hijriyah di bawah
pimpinan Washil bin Atho' Al Ghozaal.
Kelompok ini banyak terpengaruh oleh
bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu.Kebanyakan pendapat
mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah.
Pada
awal perkembangannya,Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di
kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang bersifat rasional dan filosofis. Ditambah lagi mereka menghadapi tekanan yang sangat berat dari
para pemimpin bani umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat
terhambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani
Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan
i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak menyukai dan
tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid
bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan
memeluk mazhab mereka.
Permusuhan
dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazIlah ini berlangsung terus
menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah.
Baru
pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218 H/813-833 M), golongan
ini memperoleh dukungan luas terutama di kalangan intelektual. Selanjutnya,
kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah dijadikan madzhab resmi negara oleh
al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil ia dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagai golongan
yang mendapat dukungan penguasa, Mu’tazilah mengalami masa kejayaan. Namun,
disaat puncak kejayaan itu kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok
lain yang terkenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (inquistion). Peritiwa
itu timbul dikarenakan faham Khalq al-Quran, dimana kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf.
Al-Quran itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti
al-Quran sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim
maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah SWT dan ini
musyrik hukumnya.Untuk memaksa manusia mengikuti dan meyakini kebenaran
pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di
Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh
Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau
memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak
berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah
fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan
ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal, akan tetapi beliau tetap teguh dengan
aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al
Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Peristiwa
yang menggoncangkan umat Islam itu akhirnya berakhir setelah al-Mutawakkil
menjadi khalifah (periode 232-247 H/847-861 M) menggantikan al-Wasiq (periode
228-232 H/842-847 M). Dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan masyarakat semakin
tidak bersimpatik sehingga al-Mutawakkil membatalkan Mu’tazilah sebagai madzhab
resmi negara dan menggantikannya dengan aliran Asy’ariyah. Selanjutnya, kaum
Mu’tazilah muncul lagi pada masa Dinasti Buwaihi, namun kembali lagi pada
Asy’ariah ketika Bani Saljuk mengambil alih kekuasaan, terutama sejak
pemerintahan Alp Arselan dengan Nizam al-Mulk sebagai perdana menterinya.
Hingga berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah,
tergeser oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
B.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Wasil
bin Atha.
Wasil
bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari
tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Abu
Huzail al-Allaf.
Abu
Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu
Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah
yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang
bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya
dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa
dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya.
Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim
selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat
di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’I
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
An-Nazzam
Pendapatnya
yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia
tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan
tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran
terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
Al-
jahiz
Dalam
tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah.
Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah
sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum
alam.
Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah
aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya
ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang
datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh
lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan
Tuhan.
Bisyr
al-Mu’tamir
Ajarannya
yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil
baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak
karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu
mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia
telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu
Musa al-Mudrar
Al-Mudrar
dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya
yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di
akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam
bin Amr al-Fuwati
Hisyam
bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga
dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan
adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum
waktunya orang memasuki surga dan neraka.
C.
Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah
Salah satu aspek penting dari pembahasan mengenai
aliran Mu’tazilah ialah menyangkut Al-Ushul
Al-Khamsah(lima ajaran dasar).Para pemuka Mu’tazilah mengurutkannya
berdasarkan pentingnya kedudukan tiap dasar.
At-Tauhid
Mu’tazilah meletakan
Tauhid sebagai dasar pertama karena merupakan unsur terpenting.Tauhid berarti
mengesakan Tuhan.Pengesaan Tuhan harus mendapat perhatian yang melebihi
segalannya,Tuhan hasur difahami sebagai sesuatu yang unik melebihi segalanya
yang ada di alam ini.Mereka menolak paham yang mengatakan bahwa Tuhan punya
sifat.
Al-Adl
Al-Adl berarti
keadilan Tuhan,bagi Mu’tazilah tuhan senantiasa berlaku adil.Dikatakan adil
apabila Tuhan senantiasa berbuat yang terbaik bagi manusia,bahkan Tuhan wajib
mendatangkan yang terbaik bagi manusia.Tuhan memberikan kebebasan pada manusia
dalam memilh berkehendak dan berbuat.Karena adanya kebebasan tersebut,manusia
boleh memilih antara yang baik atau buruk,namun diakhirat manusia tersebut akan
mendaapatkan balasan sesuai pilihannya ketika didunia.Sebagian dari hal
ini,Mu’tazilah mengambil paham Qadariyah
Al-Wa’d wal Waid
Al-Wa’d wal Waid berarti janji dan
ancaman,artinya pahala akan didapatkan oleh orang yang melakukan kebajikan
dansiksa akan didapat oleh pelaku kejahatan. Al-Wa’d wal Waid mengandung pengertian bahwa Tuhan mesti manepati
janji memberiakn pahala pada orang yang berbuat baik,dan memberi siksa pada
orang yang jahat.Hal in berkaitan dengan ajaran kedua yaitu Al-Adl.Tuhan baru
dikatakan Adil jika memasukan orang baik ke surga,dan orang jahat keneraka,dan
Tuhan tidak adil jika memberikan pahala pada orang yang berbuat dosa dan
memberi siksa pada orang yang berbuat baik.
Al-manzilah bain Manzilatain
Al-manzilah bain
Manzilatain berarti posisi diantara dua posisi.Hal ini di maksudkan bagi orang
mukmin yang berbuat dosa.Orang mukmin yang seperti ini menempati posisi
pertengahan,yaitu diantara mukmin dan kafir.Pelaku dosa bukanlah lagi mukmin
karena imannya sudah tidak sempurna,tapi bukan pula kafir karena masih percaya
Tuhan.Karena ia bukan mukmin maka tidak dapat masuk surga dam karena ia bukan
kafir maka sebenarnya ia tidak mesti pula masuk neraka.Karena diakhirat tidak
ada tempat selain surga dan neraka ,maka pelaku dosa besar tersebut tidak dapat
tidak tetap masuk ke dalam neraka dengan kata lain merek diberikan siksaan yang
lebih ringan dari pada orang kafir.
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an
Al-munkar
Al-Amr bi Al-ma’ruf
wa An-nahy ‘an Al-munkar berarti perintah berbuat baik dan larangan berbuat
jahat.Ajaran ini berlaku untuik semua umat Islam,bukan hanya Mu’tazilah.Bedanya
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar bagi Mu’tazilaah cukup hanya
dengan seruan,diikuti atau tidak bukanlah tanggung jawab si penyeru,namun jika
diperlukan dalam pelaksanaannya boleh denagn kekerasan bahkan mesti.Yang Ma’ruf
bagi Mu’tazilah ialah hal-hal yang mereka anggap baik dan benar menurut
pendapat mereka,sedangkan apa-apa yang menyalahinya dipandang munkar dan harus
diberantas.
D. Konsep
Pemikiran Kalam Mu’tazilah
Kelompok
Mu’tazilah dalam memecahkan berbagai masalah cenderung memberikan daya kuat
terhadap akalnya.Beberapa aliran kalam memiliki pandangan tersendiri dalan
permasalahan tersebut,akan tetapi disini hanya aka dibahas sebatas pandangan
aliran Mu’tazilah saja.Berikut persoalan-persoalan kalam dan pemecahannya
menurut aliran Mu’tazilah:
Iman
dan Kufur
Permasalahan
tentang kufur telah dibahas pada bagian sebelumnya,Mu’tazilah berpendapat bahwa
orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah mukmin tapi tidak pula
kafir,melainkan berposisi diantara keduanya atau yang mereka sebut “Fasiq”.
Bersamaan dengan perdebatan tentang
konsep kafir,persoalan iman juga diperdebatkan.Mu’tazilah berpendapat bahwa
iman bukan hanya sekedar Tashdiq (pembenaran terhadap apa yang didengar)
melainkan meliputi Ma’rifah (mengetahui benar apa yang diyakini) dan amal
(perbuatan yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan)
Akal
dan Wahyu
Persoalan dalam hal ini terletak pada
kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu untuk mengetahui Tuhan,Masalah utamanya
ialah Mengetahui Tuhan,Kewajiban Mengetahui Tuhan,Mengetahui baik dan jahat,dan
kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat.
Bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui
masalah diatas,namun pengetahuan akal tidaklah bersifat lengkap dan utuh.Abd
Al-Jabar,salah seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa tidaklah semua yang
baik dapat diketahui dengan akal.Demikian juga dalam mengetahui Tuhan dan
kewajiban-kewajiban,sebetulnya Mu’tazilah tidak tahu cara tepatnya.Dengan
demikian wahyu dapat menyempurnakan pengetahuan akal dan menerangkan apa yang
belum diketahui oleh akal.
Kebebasan
Manusia
Permasalahan
dalam hal ini terletak pada posisi manusia dihadapan Tuhan,Manusia memiliki
kebebasan dalam menentukan perbuatannya.Adapun daya atau energi yang merupakan
modal atau potensi untuk mewujudkan kehendak atau melakukan perbuatan,telah
diberikan Tuhan sejak awal.Ayat Al-Qur’an yang dijadikan pijakan oleh Aliran
Mu’tazilah ialah Qs.Al-Kahfi 29:
“...............Maka
barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan barang siapa yang
ingin kufur biarlah ia kufur.......................”
Ayat
ini memberi kebebasan manusia untuk percaya atau tidak percaya.Sekiranya
perbuatan manusia bukan sebenarnya perbuatan manusia maka ayat ini tidak ada artinya.
Demikian
juga ayat-ayat lain seperti Qs,As-Sajdah 7,17,Qs.An-Nisa 79,Qs.Al-Baqarah
108,Qs.At-Taubah 72,Qs.Qs.Al-Ahqaf 14,Qs.Ath-Thagabun 2.
Kekuasaan
dan Kehendak Mutlak Tuhan
Fokus
persoalan dibidang ini ialah apakah kekuasaan dan kehendak Tuhan mutlak atau
terbatas. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
tidak mutlak semutlak-mutlaknya tetapi terbatas karena Tuhan telah memberikan
kebebasan pada manusia dalam menentukan perbuatannya.Maka Tuhan Tidak bisa
berbuat sekehendaknya,jika Tuhan melanggarnya berarti Tuhan tidak adil bahkan
zalim.Sebab lainnya ialah kekuasaan dan kehendak Tuhan dibatasi oleh “Hukum
Alam”.Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sudah dibatasi lewat hukum-hukum yang
tersebar dialam itu.Setiap benda memiliki hukum alam tersendiri yang
menimbulkan efek tertentu menurut
naturnya masing-masing.
Keadilan Tuhan
Aliran Mu’tazilah
melihat keadilan Tuhan dari sudut pandang kebebasan manusia,keadilan Tuhan
terletak pada pemenuhan hak-hak manusia sesuai dangan kebebasan yang telah
diberikan oleh Tuhan.Pemenuhan hak itu
bisa meliputi janji (memberikan pahala pada manusia yang telah berbuat
baik),memberikan yang terbaik untuk manusia,memberikan beban sebatas kemampuan
manusia.
Ayat yang menjadi sandaran aliran Mu’tazilah
ialah Qs.Al-Anbiya 47,Qs.Yasin 54,Qs.Fushilat 46,QsAn-Nisa 40,Qs.Al-kahfi 49
Perbuatan Tuhan
Persoalan disini
terletak pada apakah perbuatan tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja atau
mencakup juga pada hal-hal yang buruk.
Bagi
aliran Mu’tazilah,perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik saja,ini
bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk,Tuhan tidak
melakukan perbuatan buruk karena ia tahu keburukan dari perbuatan
tersebut.Karena terbatasnya perbutaan Tuhan pada hal-hal yang baik
saja,Mu’tazilah berpendapat bahwa wajib bagi Tuhan wajib berbuat baik dan
terbaik bagi manusia
Sifat-Sifat Tuhan
Fokus permasalahan
ini berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan,ayat-ayat anthropomorphisme(ayat-ayat
yang menggambarkan Tuhan sama seperti makhluk) dan persoalan tentang melihat
Tuhan.
Bagi aliran Mu’tazilah,Tuhan tidaklah
memiliki sifat.Tuhan tetap mengetahui,melihat,mendengar daan sebagainya.Semua
itu bukan lewat sifat melainkan dengan
zat esensi Tuhan itu sendiri.
Mengenai masalah
Anthropomorpisme,karena menurut mereka
Tuhan tidak memiliki sifat apalagi sifat jasmani,maka ayat yang menggambarkan
Tuhan memiliki sifat jasmani haruslah diberikan interpretasi lain.misalnya
Qs.Az-zumar ayat 67:
“.........Dan langit
digulung dengan tangan kananNya.........”
kata
yamin diartikan kekuatan
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata kepala.Alasannya adalah Tuhan tidak mengambil
ruang,maka tidak bisa dilihat,selain itu jika Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala tentu Tuhan dapat dilihat didunia ini.Mereka menyandarkan pendapatnya
pada Qs.aAl-an’am 103 :
“Penglihatan tidak
bisa mencapaiNya tapi Dia capai segala penglihatan..”
Dan Qs.Al-qiyamah 22-23
“Wajah-wajah hari itu
bercahaya.”
“Kepada Tuhanlah
mereka melihat”
Kata
Nadzirah yang lazim diartikan ’’melihat’’ difahami dengan ”menunggu”.Pada hari
itu wajah-wajah menjadi berseri-seri karena menunggu pahala yang akan diberikan
Tuhan.
KESIMPULAN
1.
Secara bahasa, istilah Mu’tazilah berasal
dari kata I’tazala yang artinya memisahkan diri.Sedangakan asal-usul penamaan
Mu’tazilah banyak teori yang melatar belakanginya.
Salah satu teori menyebutkan bahwa
istilah Mu’tazilah terjadi saat halaqah yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri yang
tengah membicarakan konsep kafir. wasil mengeluarkan pendapat bahwa orang orang
mukmin yang melakukan dosa besar mereka bukan lagi mukmin tapi bukan juga
kafir,melainkan berada diantara
keduanya.Selesai berkata demikian,wasil berdiri dan meninggalkan
majelis.Karena peristiwa tersebut menjadi awal sebutan Mu’tazilah bagi wasil
dan rekan-rekannya.
Aliran
Mu’tazilah muncul ketika akhir masa pemerintahan dinasti Umayah,akan tetapi
mendapat tekanan sehingga sulit berkambang,Mu’tazilah mencapai kejayaannya pada
masa dinasti Abasiyah,kemudian perkembanganya terhambat lagi pada masa khalifah
Al-Mutawakil,mencuat kembali pada masa dinasti Buwaih,tak lama kemudian
tenggelam pada masa dinasti saljuk dan tergeser dari panggung sejarah dan
tergantikan oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah
2.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Wasil bin Atha.
Abu Huzail al-Allaf.
Al-Jubba’i
An-Nazzam
Al- jahiz
Mu’ammar bin Abbad
Bisyr al-Mu’tamir
Abu Musa al-Mudrar
Hisyam bin Amr al-Fuwati
3.
Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah
At-Tauhid
Al-Adl
Al-Wa’d wal Waid
Al-manzilah
bain Manzilatain
Al-Amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy ‘an Al-munkar
4. Konsep
Pemikiran Kalam Mu’tazilah
Iman dan Kufur
Akal dan Wahyu
Free Will dan Predestination
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Keadilan
Tuhan
Perbuatan
Tuhan
Sifat-Sifat
Tuhan
DAFTAR PUSTAKA
Alkhendra.2000.”Pemikiran
Kalam”.Bandung : Alfabeta
Rozak,Abdul
Anwar,Rosihon.2011.”Ilmu Kalam”.Bandung : Pustaka
Setia
cahayamukmin.blogspot.com
Apr 10, 2009
hanafihauvanjau.blogspot.com
May 30, 2012
masalahhukumsyariatdannegara.blogspot.com
Jan 7, 2010
politik.kompasiana.com
Jul 10, 2012 – Oleh: Lismanto.
www.fiqhsunnah.com
› AQIDAH Mar 7, 2011